Minggu, 03 September 2017

Sepotong Piscok untuk Pacarku



Sepotong Piscok untuk Pacarku
Panas siang tadi begitu terik hingga malas kaki kaki ini melangkah keluar. Jangankan keluar, di dalam rumahpun terasa sangat pengap. Kami biasa menyebutnya ngelekeb. Entah bahasa darimana itu. Maklum, rumah kami tanpa AC. Kami hanya menggunakan empat kipas baling-baling yang direkatkan di atap rumah. Tiga berukuran kecil dan satu berukuran sedang. Di tempat kami biasa solat, kamarku, kamar ibuku, dan yang besar ada di ruang TV sekaligus ruang tamu. Sekalipun keempatnya menyala bersamaan, aku kira tidak juga berasa dingin di antara udara yang aku kira lebih dari 320C ini. Mungkin berbeda cerita jikalau yang menyala empat AC sekaligus di rumahku yang terbilang minimalis ini. Aku pastikan akan terasa sangat dingin.
Sebelum siang itu tiba, paginya aku melakukan banyak aktivitas. Seperti kebanyakan wanita lainnya. Ya, wanita yang sesungguhnya, wanita yang tak mampu membayar tenaga orang lain. Ah! Aku bukannya tidak mampu, tapi aku segan untuk membayar pramuwisma untuk sekadar membersihkan rumah. Toh ini masih bisa kulakukan sendiri. Lagipula bagiku, seorang wanita haruslah pandai membereskan rumah. Tidakkah sudah banyak cerita keretakan rumah tangga akibat dari tidak piawainya seorang istri dalam mengurus rumah? Tidakkah sudah banyak anak yang lebih dekat dengan pengurusnya ketimbang dengan ibunya karena setiap hari lebih sering menghabiskan waktu bersama pengurusnya? Ya! Aku rasa itulah alasan mengapa aku harus menjadi rajin atau setidaknya mampu mengerjakan pekerjaan rumah.
Sekitar pukul 8 pagi aku telah menyelesaikan tetek bengek urusan rumah.  Setelah itu, aku beranjak menuju dapur. Dengan cekatan, aku menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pisang coklat. Maklum, aku baru saja bisa membuat pisang coklat. Kali ini aku membuatnya sengaja, karena aku akan bertemu seseorang yang begitu berarti. Aku ingin meminta komentar kepadanya tentang kue buatanku ini. Pukul 11 aku berangkat dari rumah, telah kupersiapkan semuanya.
Tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang, aku telah sampai disalah satu mall tempat aku dan dia akan bertemu. Dia telah sampai sebelum aku sampai. Dari kejauhan, dia sedang asik membaca salah satu buku. Entah buku yang menarik perhatiannya. Dengan semangat aku menghampirinya. Aku rasa dia senang melihatku datang. Tetapi mungkin juga tidak, tak lama, aku rasa tak sampai semenit dari kedatanganku disebelahnya, dia berpamitan, “ Aku ke tempat novel dulu yah.” Mungkin dia marah karena aku datang terlambat. Atau mungkin dia malu sehingga tidak mengajakku untuk bersama ke tempat itu. Atau mungkin, aku rasa dia terlalu gerogi melihatku siang tadi hingga ia lupa mengajakku.
Sebagai wanita yang begitu perasa, aku terlalu sensitif terhadap hal sekecil apapun. Termasuk kejadian ini, rasanya ingin kutumpahkan saja. Aku bergegas keluar dan memilih untuk solat. Saat hendak solat, dia menelepon. Sempat kutolak teleponnya, namun akhirnya kuangkat juga. Ia menghampiri dan setelahnya, aku rasa lebih baik aku diam saja di masjid dan membiarkannya mencari buku sendiri. Tetapi ia terus menghubungi dan meminta untuk mencari buku bersama. Akhirnya akupun luluh.
Setelah mencari buku, ini saat yang aku tunggu-tunggu. Dia telah berjanji untuk makan bakso bersamaku. Aku kira tidak ada wanita yang tidak menyukai bakso. Begitupun aku. Aku sangat menyukai bakso. Tetapi dia bukan wanita. Dia tidak begitu menyukai bakso, dan makan bakso atau mie ayam atau pun soto bersamanya adalah moment langka. Sepanjang perjalanan dia hanya diam, dia hanya minta diingatkan untuk bilang apabila ada tukang bakso. Ya. Kami menemukan tempat makan bakso yang nyaman. Aku memesan bakso kesukaanku, bakso urat. Dan dia memilih bakso kesukaannya, bakso telur tetapi pakai mie ayam.
Setelah memesan, kami memilih salah satu tempat duduk yang tentunya dekat dengan kipas angin. Setelah duduk, dia hanya diam lalu mengeluarkan bukunya dan membaca. Melihatnya memaksaku membuka telepon genggamku. Entahlah, dan lagi aku tak bisa berpikir positif. Dan lagi hati dan otak tak terkontrol. Taraaaaaaa!!! Bakso datang. Kami makan bakso dengan SERIUS. Saking seriusnya tak ada satu patah katapun yang terlontar dari lidah kami.
Sekali, dua kali, tiga kali, dan entah keberapa kalinya, lagi-lagi dia lebih dulu menghabiskan makanannya. Memang, di antara siapapun aku memang lamban dalam makan. Selesai makan, dia meminjam handphoneku. Kami berbincang sebentar. Aku sangat menyukai moment seperti ini. Menatapnya walau hanya sebentar mengundang kebahagiaan tersendiri. Apalagi melihatnya senyum kearahku. Kini kami jarang berjumpa. Dan saat-saat seperti inilah yang membuatku bahagia. Entah dia senang atau tidak. Yang pasti aku lebih dari senang.
Sebelum kami menyantap bakso, temannya menelepon. Dia bilang temannya ingin menanyakan alamat. Tapi aku rasa mungkin sebenarnya dia harusnya pergi bersama temannya bukan denganku sekarang. Dia berkata bahwa seseorang ingin bertemu dengannya untuk suatu urusan namun tidak jadi. Mendengar itu, aku membatalkan niatku mengajaknya ke suatu tempat. Dan aku rasa lebih baik pulang agar ia bisa bertemu dengan temannya secepatnya. Lalu dia berbincang kembali. Aku senang. Tetapi setelahnya, ia kembali membuka buku. Dia bosan selalu menjadi pembicara. Aku hanya menjadi pendengar. Baginya, membaca lebih menyenangkan daripada berbincang denganku.
Beri aku sehari saja bersamamu. Atau biarkan aku sehari saja menatapmu tanpa kata.
Aku sengaja meminta untuk ikut pulang bersamanya walau hanya separuh jalan. Kalau boleh ingin ikut bersamanya sampai rumah. Hanya untuk melihatnya sebentar lagi.
Setibanya kami, dia bergegas meninggalkanku.
Dan aku senang
Tidak
Aku bahagia
Tidak
Aku
Lebih dari bahagia
Menatapmu
Dan
Bersandar dipundakmu
Membuatku
Lunak

Entri yang Diunggulkan

Stephen Edelston Toulmin

 Sumber: google.com Tidak asing lagi seorang tokoh dunia yang sangat berpengaruh karena telah menyumbangkan ilmunya. Dia ada...