Pagi ini…
Ribuan tetesan air hujan jatuh
mengadu genting, memantul kededaunan, lalu berakhir diaspal, dan menyelinap diantara
sela-sela retakan tanah yang tak beraturan, menyerap hingga melunakkannya. Kelompok
semut rang-rang lari pontang-panting merayap mencari lubang-lubang dipepohonan
yang tidak begitu tinggi agar tak terbawa arus.
Pagi ini hujan, untuk pertama kalinya
setelah dua minggu lalu aku diguyur hujan dalam perjalananku menuju kampus. Sekitar
pukul tiga pagi tadi, ku dengar suara petir menyambar dengan ganasnya
membangunkanku dari tidur nyenyakku. Itu tidak membuatku membencinya. Membenci petir.
Tidak. Berkat petir itu aku tersadar dari tidurku. Tuhan masih menyayangiku.
Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya
dengan rutinitas yang itu-itu saja. Yang bakal membosankan bila tidak diakali. Kita
hidup mungkin untuk itu-itu saja. Bertemu
dengan orang itu-itu saja. Bekerja yang itu-itu saja. Pergi ke tempat itu-itu
saja. Intinya melakukan yang itu-itu saja. Tidak membosankan atau agak
membosankan sebenarnya, karena kalau sudah benar-benar bosan bersiaplah untuk
meninggalkan dunia ini. Dunia yang kata kebanyakan orang adalah fana.
Seperti biasanya, bangun dari tidur
kumandi, mengambil air wudhu, mengenakan pakaian, menggunakan mukena, lalu
solat. Berhubung hari ini libur, aku putuskan untuk duduk santai mengutak-atik
dokumen dilaptop sambil menikmati pisang goreng hangat buatan ibu ditemani
rintik hujan di luar.
Terdengar samar-samar keributan dari
luar, ya sekitar lima hingga enam meter dari tempatku duduk saat ini. Ternyata itu
adalah suara ibu dan bapakku. Suara ribut itu bukan mempermasalahkan uang
belanja yang kurang, atau bensin motor yang dipakai hingga habis, atau mengenai
dengkuran bapak malam tadi, atau karena ibu belum mandi meski matahari sudah
sedikit mengintip kami, atauuuuuuuuuuu atau karena ibu berbincang dengan lelaki
muda depan rumah? Atauuuu karena bapak melirik wanita di depan rumah??? Bukan. Bukan
itu. Kumpulan besi di depan pagar menghilang begitu saja. Entah sejak kapan. Padahal
kemarin sore setelah maghrib, besi-besi itu masih duduk manis di atas tumpukkan
genteng. Ya. Rumah ini sedang direnovasi. Menghilangnya besi, mendadak menjadi
misteri. Namun, dengan cepat walau tak secepat kilat menyambar tadi subuh, ibu
langsung berpendapat “Pasti pemulung.” Dengan cepat pula semua orang
menyetujuinya. Mereka menjadi dongkol karena besi-besi itu adalah
besi-besi pilihan yang masih bagus untuk digunakan hari ini. Namun apalah daya,
yang hilang sulit untuk kembali apalagi tidak tahu siapa yang mengambil.
Misteri hilangnya besi bukan hanya
hari ini. Apabila meletakkan barang di depan rumah, lebih tepatnya di luar pagar,
barang hilang begitu saja. Anehnya, genteng-genteng di depan rumah sekitar 50
genteng, berhari-hari tidak ada yang mengambil. Mungkin karena berat hehe…
Saat itu juga ibu berbicara, “Pemulung
sama saja dengan pencuri kalau tidak bilang-bilang.” Sapaan tetangga mengakhiri
perbincangan misteri hilangnya besi pagi ini…
Kembaliku duduk di depan laptop,
bukan untuk mengutak-atik dokumen di laptop, melainkan membuka lembaran baru
dimicrosoft Word untuk menulis cerita ini.
Salam Pisang Goreng Hangat yang Setia
Menemaniku Menulis Pagi Ini ^_^