Sepotong
Piscok untuk Pacarku
Panas
siang tadi begitu terik hingga malas kaki kaki ini melangkah keluar. Jangankan keluar,
di dalam rumahpun terasa sangat pengap. Kami biasa menyebutnya ngelekeb.
Entah bahasa darimana itu. Maklum, rumah kami tanpa AC. Kami hanya menggunakan
empat kipas baling-baling yang direkatkan di atap rumah. Tiga berukuran kecil
dan satu berukuran sedang. Di tempat kami biasa solat, kamarku, kamar ibuku,
dan yang besar ada di ruang TV sekaligus ruang tamu. Sekalipun keempatnya
menyala bersamaan, aku kira tidak juga berasa dingin di antara udara yang aku
kira lebih dari 320C ini. Mungkin berbeda cerita jikalau yang
menyala empat AC sekaligus di rumahku yang terbilang minimalis ini. Aku pastikan
akan terasa sangat dingin.
Sebelum
siang itu tiba, paginya aku melakukan banyak aktivitas. Seperti kebanyakan
wanita lainnya. Ya, wanita yang sesungguhnya, wanita yang tak mampu membayar
tenaga orang lain. Ah! Aku bukannya tidak mampu, tapi aku segan untuk membayar
pramuwisma untuk sekadar membersihkan rumah. Toh ini masih bisa kulakukan
sendiri. Lagipula bagiku, seorang wanita haruslah pandai membereskan rumah. Tidakkah
sudah banyak cerita keretakan rumah tangga akibat dari tidak piawainya seorang
istri dalam mengurus rumah? Tidakkah sudah banyak anak yang lebih dekat dengan
pengurusnya ketimbang dengan ibunya karena setiap hari lebih sering
menghabiskan waktu bersama pengurusnya? Ya! Aku rasa itulah alasan mengapa aku
harus menjadi rajin atau setidaknya mampu mengerjakan pekerjaan rumah.
Sekitar
pukul 8 pagi aku telah menyelesaikan tetek bengek urusan rumah. Setelah itu, aku beranjak menuju dapur. Dengan
cekatan, aku menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pisang coklat. Maklum, aku baru
saja bisa membuat pisang coklat. Kali ini aku membuatnya sengaja, karena aku
akan bertemu seseorang yang begitu berarti. Aku ingin meminta komentar
kepadanya tentang kue buatanku ini. Pukul 11 aku berangkat dari rumah, telah
kupersiapkan semuanya.
Tepat
sebelum adzan dzuhur berkumandang, aku telah sampai disalah satu mall tempat
aku dan dia akan bertemu. Dia telah sampai sebelum aku sampai. Dari kejauhan,
dia sedang asik membaca salah satu buku. Entah buku yang menarik perhatiannya. Dengan
semangat aku menghampirinya. Aku rasa dia senang melihatku datang. Tetapi mungkin
juga tidak, tak lama, aku rasa tak sampai semenit dari kedatanganku disebelahnya,
dia berpamitan, “ Aku ke tempat novel dulu yah.” Mungkin dia marah karena aku
datang terlambat. Atau mungkin dia malu sehingga tidak mengajakku untuk bersama
ke tempat itu. Atau mungkin, aku rasa dia terlalu gerogi melihatku siang tadi
hingga ia lupa mengajakku.
Sebagai
wanita yang begitu perasa, aku terlalu sensitif terhadap hal sekecil apapun. Termasuk
kejadian ini, rasanya ingin kutumpahkan saja. Aku bergegas keluar dan memilih
untuk solat. Saat hendak solat, dia menelepon. Sempat kutolak teleponnya, namun
akhirnya kuangkat juga. Ia menghampiri dan setelahnya, aku rasa lebih baik aku
diam saja di masjid dan membiarkannya mencari buku sendiri. Tetapi ia terus
menghubungi dan meminta untuk mencari buku bersama. Akhirnya akupun luluh.
Setelah
mencari buku, ini saat yang aku tunggu-tunggu. Dia telah berjanji untuk makan
bakso bersamaku. Aku kira tidak ada wanita yang tidak menyukai bakso. Begitupun
aku. Aku sangat menyukai bakso. Tetapi dia bukan wanita. Dia tidak begitu
menyukai bakso, dan makan bakso atau mie ayam atau pun soto bersamanya adalah
moment langka. Sepanjang perjalanan dia hanya diam, dia hanya minta diingatkan
untuk bilang apabila ada tukang bakso. Ya. Kami menemukan tempat makan bakso
yang nyaman. Aku memesan bakso kesukaanku, bakso urat. Dan dia memilih bakso
kesukaannya, bakso telur tetapi pakai mie ayam.
Setelah
memesan, kami memilih salah satu tempat duduk yang tentunya dekat dengan kipas angin.
Setelah duduk, dia hanya diam lalu mengeluarkan bukunya dan membaca. Melihatnya
memaksaku membuka telepon genggamku. Entahlah, dan lagi aku tak bisa berpikir
positif. Dan lagi hati dan otak tak terkontrol. Taraaaaaaa!!! Bakso datang. Kami
makan bakso dengan SERIUS. Saking seriusnya tak ada satu patah katapun yang
terlontar dari lidah kami.
Sekali,
dua kali, tiga kali, dan entah keberapa kalinya, lagi-lagi dia lebih dulu
menghabiskan makanannya. Memang, di antara siapapun aku memang lamban dalam
makan. Selesai makan, dia meminjam handphoneku. Kami berbincang sebentar. Aku sangat
menyukai moment seperti ini. Menatapnya walau hanya sebentar mengundang
kebahagiaan tersendiri. Apalagi melihatnya senyum kearahku. Kini kami jarang
berjumpa. Dan saat-saat seperti inilah yang membuatku bahagia. Entah dia senang
atau tidak. Yang pasti aku lebih dari senang.
Sebelum
kami menyantap bakso, temannya menelepon. Dia bilang temannya ingin menanyakan
alamat. Tapi aku rasa mungkin sebenarnya dia harusnya pergi bersama temannya
bukan denganku sekarang. Dia berkata bahwa seseorang ingin bertemu dengannya
untuk suatu urusan namun tidak jadi. Mendengar itu, aku membatalkan niatku
mengajaknya ke suatu tempat. Dan aku rasa lebih baik pulang agar ia bisa bertemu
dengan temannya secepatnya. Lalu dia berbincang kembali. Aku senang. Tetapi setelahnya,
ia kembali membuka buku. Dia bosan selalu menjadi pembicara. Aku hanya menjadi
pendengar. Baginya, membaca lebih menyenangkan daripada berbincang denganku.
Beri
aku sehari saja bersamamu. Atau biarkan aku sehari saja menatapmu tanpa kata.
Aku
sengaja meminta untuk ikut pulang bersamanya walau hanya separuh jalan. Kalau
boleh ingin ikut bersamanya sampai rumah. Hanya untuk melihatnya sebentar lagi.
Setibanya
kami, dia bergegas meninggalkanku.
…
Dan
aku senang
Tidak
Aku
bahagia
Tidak
Aku
Lebih
dari bahagia
Menatapmu
Dan
Bersandar
dipundakmu
Membuatku
Lunak